Rabu, 13 Januari 2021

Open Minded

Aku ga mengklaim kalo aku itu orang yg open minded, karena takutnya ternyata aku enggak.
Tapi kalau ada masalah, aku berusaha untuk melihat dari semua pihak, ga langsung ngejudge mana yg salah mana yg bener. Terkadang malah menurutku tidak ada yg salah dan benar, keduanya memiliki alasan tersendiri, memiliki latar belakang masing2, yang membentuk mereka seperti sekarang ini. Terkadang aku memahami mengapa mereka begitu. Ada orang yg bilang dia salah ada orang yg bilang dia benar, tapi menurutku semua itu bukan semata salah dan benar. Mungkin perilakunya salah, tapi aku mencoba memahami kenapa dia melakukan itu.
Pandanganku ini membuatku jadi kurang tegas. Aku tidak punya statement yang kuat dimana aku berdiri, siapa yang kubela, aku lebih sering berada di tengah dengan kecenderungan ke arah yang menurutku lebih butuh dimaklumi.
Terlebih, apabila aku pernah mengalami sendiri masalah tersebut, aku akan lebih menaruh simpati dan pengertian terhadap pihak tersebut. Tapi aku juga tidak membela mati2an karena pihak lain pun memiliki alasannya sendiri.
Huf. Terkadang aku lelah berusaha memaklumi orang lain, tapi orang disekitarku cenderung keras terhadapku. Aku ingin mereka melihat apa yang kulihat tetapi aku tidak bisa mengutarakan maksudku dengan jelas. Semua hanya ada di pikiran tanpa bisa kucurahkan dengan terang.

Sabtu, 24 Oktober 2020

me

I'm an angel outside but a devil inside
I don't want people to see my bad side
I'm not a hypocrite, i just want to be a good person
But sometimes people see my bad side and they judge me and i feel bad
I don't like when i feel bad
I feel bad i feel bad i feel bad
I'm not an angel, I'm a devil
Not everybody can accept me, i hope you can
Maybe my hope is too high but i just hope there's someone who can accept me for me, everything of me

Kamis, 16 Mei 2019

My Opinion about today's situation

Pemimpin tanpa cela, pemimpin yang tidak pernah berbuat salah, pemimpin yang dipuja dan dipuji oleh pendukungnya, pemimpin yang jika dikritik, pengkritiknya ditangkap. Demokrasi di Indonesia sudah mati.

Saya tidak ahli dalam politik maupun sejarah, jika ditanya tentang data, apa buktinya dari hal yang saya katakan, saya tidak menyimpan berita2 atau kutipan2 mengenai itu. Yang saya tulis disini murni opini, berdasarkan hal-hal yang saya lihat dan dengar selama ini. Bukannya saya buat dan karang sendiri, tapi hal yang saya tangkap melalui keterbatasan indera saya semata.

Hal yang paling membuat saya sakit hati adalah banyak terjadi kriminalisasi Ulama. Sebagai seorang muslim saya tidak rela Ulama diinjak-injak dan diremehkan, bahkan ditangkap karena dituduh menyebar kebencian dan semacamnya. Memang Ulama bukan Nabi, Ulama bukan manusia yang luar biasa sempurna. Ulama hanya manusia biasa yang tidak luput dari dosa. Tetapi saya diajarkan bahwa setelah Nabi terakhir yaitu Muhammad SAW, pengajaran islam dilanjutkan oleh Sahabat, mereka berjumpa dgn generasi selanjutnya yang tidak berjumpa Rasul semasa hidup, setelah para Sahabat Rasul wafat, ada yang disebut Tabi'in (orang-orang yang berjumpa dengan sahabat dalam keadaan Muslim, serta wafat juga dalam keadaan Muslim), sampai pada masa sekarang Ulama lah yang melanjutkan pengajaran islam. Oleh karena itu Ulama seharusnya dihormati, apa yang mereka katakan tidak mungkin sebuah kebohongan, dan tidak mungkin untuk mencelakakan umat muslim. Jika memang Ulama mengkritik pemimpin/pemerintah. Seharusnya pemimpin tersebut introspeksi diri dan memperbaiki kesalahannya. Tetapi yang terjadi, Ulama-Ulama ditangkap bahkan dijelek-jelekkan oleh rakyat. Miris, sakit, apalagi jika umat muslim sendiri yang mencemooh Ulama tersebut. Orang-orang mencemooh Ulama demi mendukung pemimpin yang dzalim! Naudzubillahmindzalik.

Pada zaman sekarang, semua berita dan opini dengan mudah dapat dibentuk bahkan diputar balikkan oleh media. Siapa yang tidak setuju? Siapa yang percaya sama media 100%? Syirik woy! Percaya hanya kepada Allah SWT. Saya heran seheran-herannya, kenapa pemimpin yang sekarang selalu diberitakan kebaikan-kebaikannya. Katanya itu real, bukan pencitraan. Katanya begitulah pemimpin seharusnya, blusukan, merakyat, tidak hanya duduk di istana tapi menyapa rakyat langsung dan menyelesaikan masalah di lapangan. Kerja, kerja, kerja! Wow, sungguh mencengagkan. Bahkan Ulama kalah sempurnanya sama dia. Berdasarkan pengalaman pribadi saya, belum pernah saya melihat berita dari media besar yang menayangkan kritikan pada pemimpin tersebut. Yang ada hanya berita bagus, baik dari sisi pekerjaan sampai kehidupan pribadinya, bahkan sampai cucunya sendiri mengatakan beliau adalah artis bukannya presiden.
Tapi yang saya lihat, pendukungnya fine-fine saja dengan itu, pendukung garis keras, sudah seperti fans k-pop yang mendukung idolanya. Pokoknya kalau ada yg mengkritik pemimpin tersebut mereka hoax, mereka menebar kebencian. Demi Allah, sejak kapan negara demokrasi tidak boleh mengkritik? Bahkan bukan hanya pendukungnya yang bercuit melalui medsos. Tapi pihak berwajib juga turut menangkap satu persatu orang yang mengkritik pemerintah.

Saya bilang saya bukan ahli sejarah, saya tidak tahu bagaimana keadaan di zaman Suharto, tapi saya cuma dengar-dengar katanya saat itu keadaannya otoriter, siapa yang melawan pemerintah ditangkap. Lalu...... Bagaimana dengan sekarang? Saya sangat heran banget sekali kenapa tidak ada yang mengatakan pemerintahan sekarang juga otoriter. Saya menonton debat capres waktu itu. Beliau mengatakan, kalau ada yang salah, laporkan. Saya bingung sih, karena tidak ada di lingkungan pemerintahan. Jadi saya tidak tahu sebenarnya memang tidak ada yang melaporkan jika pihak beliau yang salah, apa sebenarnya sudah dilaporkan tapi tidak pernah ditindak, atau sudah ditindak tapi hanya tidak diberitakan? Tapi yang saya tahu, jika ada pihak oposisi menyerukan pendapatnya yang menjelekkan beliau, langsung ditangkap dan diberitakan dimana-mana. Saya bingung, heran, seperti ada yang salah. Tapi lingkungan saya adem-adem aja. Di timeline sosmed saya masih banyak yang membela beliau. Meskipun ada satu dua yang dengan berani menyuarakan pendapatnya sebagai oposisi.

Posisi saya yaitu mendukung oposisi, tetapi saya takut menyuarakan pendapat. Saya takut berbeda dengan yang lainnya. Terutama karena saya sangat awam. Tidak ahli dalam bidang ini, tidak luas wawasan tentang sejarah Indonesia. Tapi hari ini saya hanya mau menyatakan kebingungan dan keheranan saya. Jujur, trigger saya menulis ini yaitu saya membayangkan jika saya menjadi dr. Ani Hasibuan, saya pasti akan menangis semalaman. Meratapi apa yang telah saya perbuat, kenapa saya dipanggil ke kantor polisi? Kenapa saya seakan melakukan kesalahan? Yang saya lakukan hanya mencari kebenaran. Itupun sesuai dengan bidang beliau yaitu kedokteran, menurut saya beliau memang pantas menyuarakan pendapat dan hasil temuannya dalam bidang itu. Saya saangaaaatt heran, kenapa bahkan seorang dokter yang mengemukakan pendapat mengenai keahliannya juga diproses hukum. Bahkan sangat cepat, baru minggu lalu saya nonton videonya trending di youtube, hari ini beredar surat dari polisi untuk meminta beliau menjadi saksi terkait menyebar berita kebencian blablabla...
Tapi saya yakin, meskipun ini menakutkan (bagi saya), beliau pasti bisa tegar menghadapi ini, beliau pasti mendapat banyak dukungan dan doa dari rakyat Indonesia yang peduli. Dan doa orang yang terdzalimi pasti diijabah oleh Allah SWT. Jika tidak sekarang, nanti pasti ada saatnya. Semangat dr. Ani Hasibuan! Semangat bangkit Indonesiaku! Bangkit dari rezim yang terlihat adem ayem tapi banyak kejanggalan dan membuat saya yang orang awam banyak kebingungan..

Terimakasih buat yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca opini saya. Jika kurang berkenan atau pilihan kita tidak sama, bisa mute atau unfollow saya saja. Saya tidak suka perpecahan, perkelahian, dan hal-hal buruk lainnya. Jadi saya sarankan untuk unfoll dan diam-diam saja daripada saling berbalas hinaan :)

Kamis, 28 Juni 2018

You’re a faker and I’m a hypocrite

I’m a believer
So that I believe all your words
I’m telling you, before that, I doubted your words
But somehow you made me believe
Or I, made me believe
From deep inside I know, I already know
I just make myself more comfort to believe in your lies, faker
So that I became a hypocrite

Sabtu, 21 April 2018

When U love someone

When u love someone, everything make no sense.
When u love someone, he is the only thing that is right for you.
When u love someone, everything not him is wrong.
When u love someone, you can’t open your heart for anyone.
When u love someone, you know he is not the right one, but you already in love with him.
When u love someone, you try to find somebody else.
When u love someone, you can’t find somebody better than him.
When u love someone, but you know he is wrong, u force yourself to stop loving him.
When u love someone, u get hurt.
When u love someone, u hate yourself for being in love.

Sabtu, 14 April 2018

Buka Pikiran


Oke, jadi di tulisan kali ini saya akan menggunakan bahasa Indonesia yang sedikit formal, tapi tidak terlalu formal dan mungkin masih berbelit-belit karena saya hanya penulis amatir.

Saya ingin membahas politik.
Apaa?? *kaget*
Sebelumnya, saya sangat tidak tertarik pada politik. Bahkan pernah saat masih kecil, mungkin saat SD menjelang SMP, saya bertekad tidak akan menyentuh politik. Karena menurut pemikiran saya yang sederhana, politik itu ribet, saya ga akan kuat. Selain itu, saya berpikir politik itu kotor, orang baik tidak akan bisa bertahan di dalam politik, entah dia berubah menjadi jahat, atau dia ditindas dan keluar dari politik karena gak kuat. Entahlah, itu pemikiran saya saat masih kecil. Mungkin terlalu banyak nonton sinetron daripada nonton berita. Tapi memang dulu saya selalu ganti channel kalau udah nanyangin berita. Karena gak ngerti, dan gak mau ngerti, dan bertekad gak akan mau ngerti. Se-anti itu dengan politik.
Sampai saya jadi mahasiswa, saya masih anti dan masa bodoh dengan politik. Saat ada yang membicarakan politik, saya menghindar dan menjauh. Bahkan saat waktunya nyoblos, saya ikutin papa aja tanpa banyak tanya atau nyari tau alasan kenapa harus pilih itu, yang penting gak golput. 
Suatu saat, papa saya nanya “kamu tahu masalah xxxxxxxx tentang xxxxxxxx?”, dan saya menjawab “gak tau, siapa itu”. Papa pun menasihati (mengomeli) panjang lebar, “kamu itu mahasiswa harusnya tau, jaman dulu mahasiswa yang paling kritis sama pemerintah. Sampai demo, mahasiswa semua. Sekarang ya kayak kamu gini, udah dipengaruhi sama hiburan tv yang gak bermutu, musik boyband-boyband, korea, internet, gak peduli sama masalah-masalah politik. Sekarang malah emak-emak yang demo.” Yah papa gak tau aja emang anaknya yang sudah bertekad apatis dari lahir (tolong jangan ditiru, saya juga lagi belajar). Masih berlanjut nih, “apalagi kamu psikolog, harusnya wawasannya luas, tentang apa aja. Sering-sering baca berita, apa yang sedang terjadi saat ini. Kalo buka hp itu yang bermanfaat, jangan sosmed aja tapi buka juga berita, info-info. Jadi sekarang ini..........*dst*”
Saat pertama kali papa bilang gitu saya cuma anggap angin lalu, masih tidak tertarik. Meskipun ada sedikit rasa malu. Malu sebagai mahasiswa, gak tau masalah apa yang sedang terjadi sekarang ini. Taunya masalah artis, penyanyi, pemain film. Haduhh. 
Saya pun berpikir, mungkin dulu saya masih kecil saat membuat tekad itu, saya belum mengerti kalau suatu saat saya akan beranjak dewasa. Dan memiliki wawasan luas itu adalah sebuah keharusan dalam dunia orang dewasa (aduhh bahasanya). Kita tidak bisa memilih-milih apa yang mau kita ketahui dan apa yang tidak mau kita ketahui. Karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya, mungkin suatu saat ada orang yang bertanya dan mengajak diskusi, atau kita melamar ke suatu perusahaan yang mengharuskan memiliki pengetahuan sosial, isu-isu negara, dsb.
Setelah nasihat yang pertama itu, ada beberapa kesempatan lagi papa membuka diskusi tentang sesuatu, yang pastinya saya tidak mengerti lagi apa yang dibicarakan papa, diceramahin lagi, kurang lebih hampir sama seperti yang pertama. Sejak itu mulailah saya sedikit ingin tahu biar gak malu-maluin banget, karena sudah mulai merasa malu. Selain itu juga agak kepo (pengen tahu), karena dari cerita papa, sepertinya masalah ini mulai menggelitik rasa penasaran saya. Terbukalah sedikit keingintahuan saya pada dunia politik ini. Meskipun hanya dari sudut pandang awam, bukan mau jadi menteri.
Tapi sejauh ini, usaha yang saya lakukan hanyalah buka berita di line tudey (Ha ha, maafkan saya teman-teman). Karena saya masih malas dan belum terketuk hatinya untuk membuka berita yang lebih berat. Tapi, seperti ada yang aneh yang saya rasakan saat membaca line tudey. Seperti ada kejomplangan, atau berat sebelah dalam berita yang mengekspose dan mengindahkan hanya satu pihak. Saya rasa itu agak tidak adil karena masyarakat awam seperti saya yang malas mencari dan hanya membuka satu sumber berita bisa saja jadi memihak, bukan karena kita paham, tapi karena kita terbiasa dengan apa yang kita baca sehari-hari. Sekali lagi, saya sangat awam dan belum bisa untuk beropini mengenai politik. Tapi saya menyadari disini media sangat berperan dalam menampilkan politik. Jadi apa yang kita lihat belum tentu itu yang terjadi sebenarnya. Percayalah, saya penikmat film dan drama, jadi dalam hal ini saya tidak terlalu awam. Bahwa seringkali ada kesalahpahaman jika sudah berhubungan dengan media. Semua itu tergantung dari dokumentasi dan penyiarannya.
Semakin lah saya berpikir bahwa politik itu tambah ribet, bermain juga dengan media, entah salah entah benar.
Sekarang merasa ingin mencari tahu lebih lagi. Dari pengetahuan saya yang sangat sedikit ini, ada yang sangat ingin saya cari tahu kebenarannya, yaitu adanya masalah yg lebih besar daripada sekedar politik dalam negeri. Sekali lagi, saya masih awam dan tidak tahu sama sekali permasalahan dalam negeri maupun luar negeri. Tapi jika memang benar, apa yg terjadi sekarang ini, akan merusak kebudayaan dan kependudukan di Indonesia kedepannya. Jika memang benar, pastinya saya ingin melakukan sesuatu, dan kalian yang membaca dan belum memahami tapi ingin memahami tentunya juga tidak bisa diam. Meskipun sekarang saya masih tidak tahu apa-apa dan tidak tahu apa yang bisa saya lakukan. Mungkin setidaknya ada satu yang bisa saya lakukan dalam waktu dekat: memilih pemimpin yang benar.

Wallahualam, Allah Maha Tahu, Allah Maha Benar. Semoga saya dan kita semua terbuka keingintahuannya, dan wawasannya. Aamiin.

Rabu, 26 April 2017

Cerita Shelly paling panjang...

Nangis terkejer gue di sdg (so far) adalah saat gue jadi acara GCF 2017

Hari itu rapat acara harusnya. Dirumah lagi gaada mama papa, adanya ade doang. Dan seperti biasa gue diwanti2 gaboleh plg malem, apalagi malem sebelumnya abis rapat choral ITB dan pengurus inti, meskipun seperti biasa gue juga izin pulang duluan. Gue pulang duluan itu bukannya seneng enak2an, bukannya gue gapunya rasa bersalah. Gue selalu merasa bersalah saat rapat pulang duluan. Dan rasa bersalah itu dikali dua. Pertama gue ngerasa bersalah sama anggota yg lain, mereka bisa nyelesaiin rapat smpe selesai, tapi gue sering izin2 plg duluan, belum lagi bersalah sama koor atau ketua pelaksananya. Kedua, meskipun izin pulang rapat duluan, tapi dirumah gue udah keitung pulang malem juga, selama diatas jam 8 itu udah keitung malem bgt sama mama papa. Jadi gue pulang bukannya enak2an tapi ttp merasa bersalah juga sama orgtua karena bahkan gue ikut sdg pun ga dpt restu dari orgtua. meskipun kadang dianter jemput kalo ada event sdg, dibeliin kebutuhan gue buat sdg, dibukain pintu rumah, dikasi kunci duplikat meskipun gue plg malem karena sdg, dibolehin bawa mobil buat gue pergi latihan atau rapat atau acara lainnya meskipun pernah juga ga dibolehin. Gue ga terlalu perhitungan orgnya, tapi kalau dihitung2 memang dukungan orgtua gue sangat besar untuk orang yang gak merestui kegiatan gue. Jadi gimana gue ga merasa bersalah kalau gue suka ngelunjak pulang malem untuk rapat yg kadang bisa beberapa hari berturut2 ada rapat buat event yg berbeda2. Gak rapat pengurus, pelantikan, GCF, ITB, diksar, dll. Jadi gue berusaha untuk mengimbangi, ga jomplang ke salah satu pihak. Kalau dlm seminggu ada 3 rapat gue ikut satu atau dua, atau satu setengah (satunya ikut tapi izin plg duluan), gapernah gue ikut tiga2nya. Disitu gue juga merasa bersalah sama SDG dan anggota yg lain. Tapi, yg bikin gue agak sakit hati adalah saat ada org yg beranggapan gue enak suka izin pulang duluan, atau gue enak ga ikut rapat. Meskipun bercanda, tapi kalau ada yg bahas ttg absensi gue di rapat, gue sebenarnya sensitif dan gue baper, tapi gue berusaha untuk menahan setiap gue baper apapun alasannya yg bikin gue baper. Gue selalu menahan dan menanggapi dgn bercanda biar ga ketauan baper, atau kalo lagi pms dan baper kebangetan gue tanggepin dgn diem dan pergi. Gue gapernah ngeTOI org atau blak2an soal perasaan gue di depan org lain yg bikin gue sakit hati. Entah karena gue bisa nahan, atau entah gue pengen marah tapi gue ga tau apa yg harus diomongin, drpd gue marah tapi awkward jadi mending gue diem. Mungkin terlihat dewasa (gue gatau apakah ada yg melihat gue dewasa apa nggak, gue gak menyadari apapun pandangan org ttg gue kalo ga dikasitau), tapi sebenernya gue menahan karena gue canggung dan gue suka gatau mau ngmg apa jadi gue tahan dan selain itu gue juga ga suka memancing keributan dan memperburuk masalah yg udah ada, jadi gue selalu berusaha nahan.

Jadi ya itu, hari itu gue bela2in ikut rapat acara GCF yg kata koornya rapat abis latian. Gue berusaha memaksakan ikut rapat itu karena kalau dari skala prioritas rapatnya penting, dan gue divisi acara, dannnn anak acara ini gapernah rapat full team, sedangkan besoknya ada rapat gcf semua divisi. Disaat ade gue yg manja dan ngeselin itu berdua dirumah dan orgtua gue suruh pulang cepet. Jadi gue bilang lah ke koor itu gimana kalo rapatnya dirumah gue, mau smpe jam berapa aja bebas yg penting gue dirumah. Lalu saat diumumkan, ada aja anggota yg kurang setuju, dan mungkin memang beberapa atau semua anak acara itu agak gamau rapat di rumah gue karena rumah gue jauh. Disitu mulai lah debat lagi, gue udah diem aja karena gue terserah yg lain aja, karena gue ga enakan. Sebenernya gue ga memaksakan bgt buat dirumah gue makanya gue diem. Tapi gue juga akan sangat berterima kasih dan sangat lega kalo rapatnya mmg jadi di rumah gue. Tapi melihat respon anak2 itu gue pun agak galau ya karena itu udah disuruh plg tapi rapat itu penting, ada yg tiba2 bilang di tempat makan lah, ada yg bilang di kampus lah, dan jdnya kyk ga jelas gitu. Akhirnya pecah lah karena koor juga kesel ada perdebatan masalah tempat rapat itu. Gue makin ga enaklah dan gue makin diem. Gue mau bgt dirumah gue, tapi gaenak juga sama yg bilang rumah gue kejauhan, gue mau bilang yaudah dikampus aja, tapi gue pasti gabisa ikut karena harus disuruh pulang, meskipun sekali2 gue ngelawan perintah orgtua tapi gue gamau jadi anak yg durhaka total, mungkin skrg gue semi durhaka (wallahualam) tapi gue gamau lebih jauh lagi karena gue juga ngerasa ini udah lampu oren (hati-hati) buat gue. (Ohiya btw, gue punya radar feeling sendiri buat suasana hati orgtua gue thd kegiatan sdg ini, kadang mereka ijo, lempeng bgt tuh kalo gue mau rapat atau latihan, kadang oren, harus hati2, dan hampir merah, yg bener2 harus di cut. Tapi sejauh ini paling baru smpe oren, belum smpe bener2 merah tapi itu udah warning bgt, karena gue sadar kalo oren tapi masih gue bablasin bisa2 jadi merah malah ke cut semua kegiatan gue selama 4 thn ini sia2 belaka jadinya). Karena gue bingung mau ngmg apa disitu jadi gue diem aja dan diem2 merasa bersalah juga. Dan setelah pecah suasana karena jdnya ribut masalah tempat rapat, yg merembet jadi masalah gak jadi rapat, rapatnya mau dibubarin, bingung lah gue, disini posisi udah mau malem, tapi gajadi rapat di rumah gue, tapi udah ambek2an gini. Dan disitu, lo tau, gue ngerasa ada yg nyalahin gue, memang dia ga ngmg langsung tapi gue ngerasa aja dia menyalahkan gue yg nyuruh rapatnya di rumah gue. Disitu aduhh udah gue tahan2 aja. Perasaan gue disitu pertama merasa bersalah, kedua bingung, terus agak kesel karena ketidakpastian, terus gue capek juga, dan disaat seperti itu ada yg terasa sedang menyalahkan gue. Entah kenapa gue udah terbiasa menahan, jadi mau sesakit apapun gue gabisa pecah di depan umum, baik pecah air mata atau pecah amarah, kyk yg org2 lakuin biasanya dlm situasi sprti itu. Tapi gue cuma diem, sok2 bisa ikut rapat, gue ikutin lah itu koor yg ngambek ke mcd kelapa dua. Disitu dia udah agak tenang dan nyuruh gue plg karena dia tmn gue dan dia tau gimana kondisi rumah gue, bukannya karena tmn jadi dibelain apa gimana, ya meskipun gue juga merasa bersalah dan takut ada yg berpikiran spt itu tapi gue udah bodo amat apa kata org ttg keluarga gue, karena gue tau mereka ga tau gimana keluarga gue yg sebenarnya.

Lalu pulanglah gue di jam 10 dan kondisi rapat belum mulai karena insiden itu.

Lalu...... setelah sampai rumah..... entah kenapa tiba2 gue pecahh sendiri....

Gue nangis senangis nangisnya. Ade2 udah pada tidur, mama ke bandung, papa ngekos di dkt kantor. Gue naaanggiis sambil mikir apa aja yg bikin gue nangis, jadi ada beberapa hal yg udah gue tumpuk dan gue tahan, pastinya ada hubungannya juga sama insiden rapat acara GCF itu. Perasaan gue disitu adalah kesel sedih marah kecewa, karena ada yg nyalahin gue padahal dia ga tau apa2 ttg keluarga gue. Di kampus tadi gue diem aja karena ya itu, gue tahannn. Di rumah baru lah pecah. Disitu gue mulai mikir egois, kenapa gue di kondisi kyk gini ga punya (org) tempat cerita. Kalo ke Allah itu udah pasti gue berkeluh kesah ke Allah dan minta petunjuk, ketenangan, apa2 semua minta sama Allah. Tapi gue merasa disini gue gaada org yg support gue yg bisa gue ceritain keluh kesah gue. Gue merasa ga pantes juga sih punya org seperti itu yg kerjanya bakal denger keluhan gue doang. Itu kenapa gue tahan terus semuanya gue tumpuk karena gue ga suka denger org ngeluh aja kerjanya jadi gue gamau juga ngeluh ke org. Tapi disini gue lagi ngerasa egois kenapa gaada org yg (terlihat) mau dengerin segala keluhan kesusahan gue (like pacar, meskipun hati gue yg sisi lain mengatakan gue ga butuh dan pacaran itu haram jadi gabakal berkah juga keluh kesah gue sama dia) apa gue kebanyakan nonton korea yakk. Disitu gue merasa butuh org buat tempat bersandar, bahu buat tempat gue menumpahkan air mata, dekapan buat nenangin gue, kuping buat dengerin semua unek2 gue. Yg ga gue dpt dari orgtua, maupun adik, dan teman gue.

Disitu gue juga sempet mikir kalo sdg se-egois ini terus menyita diri gue, gue sampe ga sempet ngerjain skripsi, gue ga sempet berkarya bagus2 buat tugas gue, gue cm bisa bikin seadanya doang buat tugas kuliah karena wkt gue yg terbatas, wkt gue yg gue curahkan hampir sepenuhnya buat sdg. Tapi disaat gue kyk gitu masih ada yg seakan menyalahkan gue karena gue minta rapat dirumah gue, masih ada yg seakan ngerasa gue enak2an izin dan gaikut rapat, dan egoisnya gue mikir "padahal apa yg gue lakuin, kontribusi gue, apa yg gue bikin, itu udah maksimal, hampir semua usaha dan waktu gue buat sdg, belum tentu kalian2 itu berkorban sebanyak gue dlm hal waktu, usaha, ide, pikiran, karya" tapi disini gue merasa seolah2 gue hanya dianggap org yg izin kalo rapat.

Sebenarnya hal itu ga masalah kalo dlm kondisi biasa. Tapi waktu itu kondisinya lagi sangat ga biasa. Wkt itu ke-egoisan gue yg selalu gue tahan muncul tiba2. Pikiran2 egois gue timbul dan merajai pikiran gue, sehingga gue pun nangis sejadi2nya. Apa yg selama ini gue lakuin, apa yg selama ini gue korbanin, keluarga, tugas kuliah, absen kuliah, pi, skripsi, itu ga dihargain. Entah pun siapa yg gue minta untuk hargain gue. Tapi pokoknya saat itu, ya itu yg gue pikirkan, gue butuh pendengar, gue butuh dihargain, gue butuh waktu buat ngerjain semua tugas2 gue yg ketinggalan. Gue pengen egois dan ngelakuin apa yg mau gue lakuin. Tapi kalo gue egois, malah perasaan gue yg sensitif ini makin merasa bersalah. Meskipun pikiran gue suka ngedumel di dlm hati tapi gue selalu ngerjain apa yg harus gue kerjain untuk sdg, meskipun ngedumel dlm hati tapi gue ngerjain sepenuh hati.

Entah juga kenapa gue bikin notes ini sepanjang2 tidak. Dan isinya pun ngalor ngidul bgt. Tapi gue hanya merasa ingin menuliskan, mencurahkan apa yg ada di pikiran gue ini. Siapa tau gue lega setelah nulis, dan suatu hari nanti bisa gue baca lagi. Saat2 capeknya gue berkorban buat sdg (but trust me, gue ngomong2 gini tapi gue ikhlas ngelakuin pengorbanan gue dan gue ga minta ganti untuk pengorbanan2 itu)