Minggu, 08 Maret 2015

Kesehatan Mental: Sejarah, Konsep, Perbedaan Konsep Barat dan Timur

THE MENTAL HEALTH PEOPLE

Sejarah Kesehatan Mental


A. Era pra Ilmiah

1. Kepercayaan Animisme
           Sejak zaman dulu sikap terhadap gangguan kepribadian atau mental telah muncul dalam konsep primitif animisme, ada kepercayaan bahwa dunia ini diawasi atau dikuasisi oleh roh-roh atau dewa-dewa. Orang primitrif percaya bahwa angin bertiup, ombak mengalun, batu berguling, dan pohon tumbuh karena pengaruh roh yang tinggal dalam benda-benda tersebuit. Orang yunani percaya bahwa gangguan mental terjadi karena dewa marah dan membawa pergi jiwanya. Untuk menghindari kemarahannya, maka mereka mengadakan perjamuan pesta (sesaji) dengan mantra dari korban.


2. Kemunculan Naturalisme
           Perubahan sikap terhadap tradisi animisme terjadi pada zaman Hipocrates (460-467). Dia dan pengikutnya mengembangkan pandangan revolusioner dalam pengobatan, yaitu dengan menggunakan pendekatan ”Naturalisme”, suatu aliran yang berpendapat bahwa gangguan mental atau fisik itu merupakan akibat dari alam. Hipocrates menolak pengaruh roh, dewa, syetan atau hantu sebagai penyebab sakit. Dia menyatakan: ”Jika anda memotong batok kepala, maka anda akan menemukan otak yang basah, dan memicu bau yang amis, akan tetapi anda tidak akan melihat roh, dewa atau hantu yang melukai badan anda”. Ide naturalistik ini kemudian dikembangkan oleh Galen, seorang tabib dalam lapangan pekerjaan pemeriksaan atau pembedahan hewan.
           Dalam perkembangan selajutnya, pendekatan naturalistik ini tidak dipergunakan lagi dikalangan orang-orang kristen. Seorang dokter perancis, Philipe Pinel (1745-1826) menggunakan filasafat politik dan sosial yang baru untuk memecahkan problem penyakit mental. Dia telah terpilih menjadi kepala Rumah Sakit Bicetre di Paris. Di rumah sakit ini, para pasiennya (yang maniac) dirantai, diikat ditembok dan ditempat tidur. Para pasien yang telah dirantai selama 20 tahun atau lebih dan dipandang sangat berbahaya, dibawa jalan-jalan disekitar rumah sakit. Akhirnya, diantara mereka banyak yang berhasil, mereka tidak menunjukkan lagi kecenderungan untuk melukai atau merusak dirinya sendiri.

B.Era Ilmiah (Modern)

           Perubahan yang sangat berarti dalam sikap dan pengobatan gangguan mental, yaitu dari animisme (irrasional) dan tradisional ke sikap dan cara yang rasional (ilmiah), terjadi pada saat berkembangnya psikologi abnormal dan psikiatri di Amerika Serikat, yaitu pada tahun 1783. Ketika itu, Benyamin Rush (1745-1813) menjadi anggota staff medis di rumah sakit Pensylvania. Di rumah sakit ini, ada 24 pasien yang dianggap sebagai lunatics(orang-orang gila atau sakit ingatan). Pada waktu itu, sedikit sekali pengetahuan tentang penyakit kegilaan tersebut, dan kurang mengetahui cara menyembuhkannya. Sebagai akibatnya, pasien-pasien tersebut didukung dalam sel yang kurang sekali alat ventilasinya, dan mereka sekali-sekali diguyur dengan air. Rush melakukan usaha yang sangat berguna untuk memahami orang-orang yang menderita gangguan mental tersebut. Cara yang ditempuhnya adalah dengan melalui penulisan artikel-artikel dalam koran, ceramah, dan pertemuan-pertemuan lainnya. Akhirnya, setelah usaha itu dilakukan (selama 13tahun), yaitu pada tahun 1796, di rumah mental, ruangan ini dibedakan untuk pasien wanita dan pria. Secara berkesenimbungan, Rush mengadakan pengobatan kepada para pasien dengan memberikan dorongan (motivasi) untuk mau bekerja, rekreasi, dan mencari kesenangan. Perkembangan psikologi abnormal dan pskiatri ini memberikan pengaruh kepada lahirnya ”mental hygiene” yang berkembang menjadi suatu ”Body of Knowledge” beserta gerakan-gerakan yang terorganisir.
           Perkembangan kesehatan mental dipengaruhi oleh gagasan, pemikiran dan inspirasi para ahli, terutama dari dua tokoh perintis, yaitu Dorothea Lynde Dixdan Clifford Whittingham Beers. Kedua orang ini banyak mendedikasikan hidupnya dalam bidang pencegahan gangguan mental dan pertolongan bagi orang-orang miskin dan lemah. Dorthea Lynde Dix lahir pada tahun 1802 dan meninggal dunia tanggal 17 Juli 1887. Dia adalah seorang guru sekolah di Massachussets, yang menaruh perhatian terhadap orang-orang yang mengalami gangguan mental. Sebagian perintis (pioneer), selama 40 tahun, dia berjuang untuk memberikan pengorbanan terhadap orang-orang gila secara lebih manusiawi. Usahanya, mula-mula diarahkan pada para pasien mental di rumah sakit. Kemudian diperluas kepada para penderita gangguan mental yang dikurung di rumah-rumah penjara. Pekerjaan Dix ini merupakan faktor penting dalam membangun kesadaran masyarakat umum untuk memperhatikan kebutuhan para penderita gangguan mental. Berkat usahanya yang tak kenal lelah, di Amerika Serikat didirikan 32 rumah sakit jiwa. Dia layak mendapat pujian sebagai salah seorang wanita besar di abad ke-19.
           Pada tahun 1909, gerakan kesehatan mental secara formal mulai muncul. Selama dekade 1900-1909, beberapa organisasi kesehatan mental telah didirikan, seperti American Social Hygiene Associatin(ASHA), dan American Federation for Sex Hygiene. Perkembangan gerakan-gerakan di bidang kesehatan mental ini tidak lepas dari jasa Clifford Whittingham Beers (1876- 1943). Bahkan, karena jasa-jasanya itulah, dia dinobatkan sebagai ”The Founder Of The Mental Hygiene Movement”. Dia terkenal karena pengalamannya yang luas dalam bidang pencegahan dan pengobatan gangguan mental dengan cara yang sangat manusiawi. Dedikasi Beers yang begitu kuat dalam kesehatan mental dipengaruhi oleh pengalamannya sebagai pasien di beberapa rumah sakit jiwa yang berbeda. Selama di rumah sakit, dia mendapatkan pelayanan atau pengobatan yang keras dan kasar (kurang manusiawi). Kondisi seperti ini terjadi karena pada masa itu belum ada perhatian terhadap masalah gangguan mental, apalagi pengobatannya. Setelah dua tahun mendapatkan perawatan di rumah sakit, dia mulai memperbaiki dirinya. Selama tahun terakhirnya sebagai pasien, dia mulai mengembangkan gagasan untuk membuat gerakan untuk melindungi orang-orang yang mengalami gangguan mental atau orang gila (insane). Setelah dia kembali dalam kehidupan yang normal (sembuh dari penyakitnya), pada tahun 1908, dia menindaklanjuti gagasannya dengan mempublikasikan tulisan autobiografinya yang berjudul A Mind That Found It Self. Kehadiran buku ini disambut baik oleh Willian James, sebagai seorang pakar psikologi. Dalam buku ini, dia memberikan koreksi terhadap program pelayanan, perlakuan atau ”treatment” yang diberikan kepada para pasien di rumah sakit yang dipandangnya kurang manusiawi. Di samping itu, dia merupakan reformator terhadap lembaga yang memberikan perawatan gangguan mental. Beers meyakini bahwa penyakit atau gangguan mental dapat dicegah atau disembuhkan. Dia merancang suatu program yang bersifat nasional, yang tujuannya adalah:

  1. Mereformasi program perawatan dan pengobatan terhadap pengidap penyakit jiwa;
  2. Melakukan penyebaran informasi kepada masyarakat agar mereka memiliki pemahaman dan sikap yang positif terhadap para pasien yang mengidap gangguan atau penyakit jiwa;
  3. Mendorong dilakukannya berbagai penelitian tentang kasus-kasus dan obat gangguan mental; dan
  4. Mengembangkan praktik-praktik untuk mencegah gangguan mental.

           Program Beers ini ternyata mendapat respon positif dari kalangan masyarakat, terutama kalangan para ahli seperti William James dan seorang psikiatris ternama, Adolf Mayer. Begitu tertariknya terhadap gagasan Beers, Adolf Mayer menyarankan untuk menamai gerakan itu dengan nama ”Mental Hygiene”. Dengan demikian, yang mempopulerkan istilah ”Mental Hygiene” adalah Mayer. Belum lama setelah buku itu diterbitkan pada tahun 1908, sebuah organisasi pertama didirikan, bernama ”Connectievt Society For Mental Hygiene”.Satu tahu kemudian, didirikanlah ”National Commite Society For Mental Hygiene”, dan Beers diangkat menjadi sekretarisnya. Organisasi ini bertujuan:

  1. Melindungi kesehatan mental masyarakat;
  2. Menyusun standard perawatan para pengidap gangguan mental;
  3. Meningkatkan studi tentang gangguan mental dalam segala bentuknya dan berbagi aspek yang terkait dengannya;
  4. Menyebarkan pengetahuan tentang kasus gangguan mental, pencegahan dan penobatannya;
  5. Mengkoordinasikan lembaga-lembaga perawatan yang ada.

           Terkait dengan perkembangan gerakan kesehatan mental ini, Deutsch mengemukakan bahwa pada masanya dan pasca Perang Dunia I, gerakan kesehatan mental ini mengkonsentrasikan programnya untuk membantu mereka yang mengalami masalah serius. Setelah perang usai, gerakan kesehatan mental semakin berkembang dan cakupan garapannya meliputi berbagai bidang kegiatan, seperti pendidikan, kesehatan masyarakat, pengobatan umum, industri, kriminologi, dan kerja sosial. Secara hukum, gerakan kesehatan mental ini mendapatkan pengukuhannya pada tanggal 3 Juli 1946, yaitu ketika presiden Amerika Serikat menandatangani ”The National Mental Health Act”. Beberapa tujuan yang terkandung dalam dokumen tersebut meliputi:

  1. Meningkatkan kesehatan mental seluruh warga masyarakat Amerika Serikat, melalui penelitian, inevestigasi, eksperimen penanganan kasus-kasus, diagnosis dan pengobatan;
  2. Membantu lembaga-lembaga pemerintah dan swasta yang melakukan kegiatan penelitian dan meningkatkan koordinasi antara para peneliti dalam melakukan kegiatan penelitian dan meningkatkan kegiatan dan mengaplikasikan hasil-hasil penelitiannya;
  3. Memberikan latihan terhadap para personel tentang kesehatan mental;
  4. Mengembangkan dan membantu negara dalam menerapkan berbagai metode pencegahan, diagnosis, dan obat terhadap para pengidap gangguan mental.

           Pada tahun 1950, organisasi kesehatan mental terus bertambah, yaitu dengan berdirinya ”National Association For Mental Health” yang bekerjasama dengan tiga organisasi swadaya masyarakat lainnya, yaitu ”National Committee For Mental Hygiene”, ”National Mental Health Foundation”, dan ”Psychiatric Foundation”. Gerakan kesehatan mental ini terus berkembang sehingga pada tahun 1075 di Amerika Serikat terdapat lebih dari seribu tempat perkumpulan kesehatan mental. Di belahan dunia lainnya, gerakan ini dikembangkan melalui ”The World Federation For Mental Health” dan “The World Health Organization”.

Konsep Sehat


           Pengertian sehat menurut WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) adalah suatu kedaan kondisi fisik, mental dan kesejahteraan sosial yang merupakan satu kesatuan dan bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan.
Sehat menurut ilmu faal dalam Buku Ilmu Faal Olahraga terbagi dalam 2 tingkatan yaitu ;
  1. Sehat statis : normalnya fungsi alat tubuh saat istirahat. Contohnya pasien dengan penyakit jantung, dikategorikan dalam sehat statis karena kondisi sehat hanya pada saat istirahat.
  2. Sehat dinamis : normalnya fungsi alat tubuh saat olahraga atau sedang bekerja. Sehat dinamis adalah tingkat kesehatan yang ingin dicapai oleh semua orang.
           Menurut Undang Undang Kesehatan No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan : Sehat atau kesehatan adalah suatu keadaan sejahtera dari badan (jasmani), jiwa (rohani) dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Ada 3 komponen penting dalam definisi sehat yaitu sehat jasmani, sehat mental (pikiran, emosional dan spiritual) dan sehat sosial.

Sehat sosial mencakup status sosial, kesejahteraan ekonomi dan saling toleransi dan menghargai.

Sehat fisik adalah tidak merasa sakit, secara klinis yaitu dari fisik luar seseorang tidak terlihat sakit, semua organ tubuh berfungsi dengan baik dan tidak terdapat gangguan pada organ tubuh.
Kebugaran jasmani adalah kesanggupan atau kemampuan tubuh dalam beradaptasi terhadap kerja yang dilakukan sehari-hari tanpa merasa kelelahan.
Individu yang bugar secara jasmani sering disebut sehat secara fisik. Latihan kebugaran jasmani bisa dijalani dengan olahraga yang dapat menurunkan tekanan darah tinggi, mencegah kencing manis, menurunkan kadar kolesterol dalam darah dan banyak lagi. Agar mencapai tujuan sehat fisik, kita cukup melakukan latihan ringan yang rutin setiap harinya seperti menggunakan tangga saat di kantor dan melakukan sebagian pekerjaan rumah sendiri.

Sehat mental adalah sehat pikiran, sehat emosional dan sehat spiritual. 
  • Sehat pikiran mencakupi kemampuan berpikir secara logis dan bisa mengatasi masalah serta tekanan dengan baik. 
  • Sehat emosional tercermin dari bagaimana seseorang mengekspresikan emosinya dan pengendalian dirinya terhadap sesuatu yang dihadapi sehari-hari.
  • Sehat spiritual terlihat dari praktek keagamaan seseorang dimana seseorang dapat menjalankan ibadah dan mengikuti aturan sesuai agama yang dianutnya

           Sehat mental dan sehat sosial lebih banyak dipengaruhi dengan faktor lingkungan seperti masyarakat dan agama yang bisa mendukung individu tersebut menjadi positif dan lebih produktif.
Semua komponen ini penting dalam konsep sehat. Menjadi sehat sempurna membuat kita dapat melakukan segala sesuatu dengan lebih baik dan maksimal. Tubuh kita akan bebas dari berbagai bentuk gangguan dan kita bisa hidup lebih lama, panjang umur dan dapat meningkat kualitas dari keseluruhan hidup kita.

Faktor Budaya dalam Kesehatan Mental: Pemahaman Terhadap Kesehatan Mental pada Beberapa Budaya di Indonesia dan pada Budaya Barat

           Banyak hal dalam kehidupan yang dipengaruhi oleh budaya, kesehatan mental dan gerakan kesehatan mental adalah salah satu contohnya. Terjadi pergeseran paradigma dalam pemahaman gerakan kesehatan mental, saat ini gerakan kesehatan mental  lebih mengedepankan aspek pencegahan gangguan mental serta bagaimana peran komunitas dalam membantu optimalisasi fungsi mental individu.
           Dalam kesehatan mental, faktor kebudayaan juga memegang peran penting. Apakah seseorang itu dikatakan sehat atau sakit mental bergantung pada kebudayaannya (Marsella dan White, 1984). Hubungan kebudayaan dengan kesehatan mental dikemukakan oleh (Wallace, 1963) meliputi :

  • Kebudayaan yang mendukung dan menghambat kesehatan mental.
  • Kebudayaan memberi peran tertentu terhadap penderita gangguan mental.
  • Berbagai bentuk gangguan mental karena faktor kultural, dan
  • Upaya peningkatan dan pencegahan gangguan mental dalam telaah budaya.

           Selain itu budaya juga mempengaruhi tindakan penanganan yang dilakukan. Marsella (1982) misalnya mengatakan bahwa banyak riset-riset dalam psikiatri dan psikologi cenderung bias, karena tidak memperhitungkan faktor budaya. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa ‘Pengalaman sakit’ (illness experience) bersifat Interpretive, karenanya harus dipahami lewat premis-premis yang berlaku pada suatu budaya tertentu. Dengan kata lain Konsep kesehatan mental pada suatu budaya harus dipahami dari hal-hal yang dianggap mempunyai arti dan bermakna pada budaya tersebut,
           Salah satu contoh adanya pengaruh budaya dalam kesehatan mental adalah melalui penelitian yang dilakukan oleh Hamdi Muluk (Psikologi UI) dan J. Murniati (Psikologi Unpad) yang membahas teoretik tentang konsepsi kesehatan mental menurut konsepsi kultural etnik Jawa dan Minangkabau. Kerangka pembahasan memakai hipotesis oleh Naim (1980) tentang dua pola kebudayaan; J (Jawa) dan M (Minangkabau). Pola J yang dicirikan oleh hirarkis, feodalistis, dan paternalisitik, sementara pola M berciri masyarakat yang tribal, bersuku-suku, demokratis, fraternalistik dan desentralistis. Analisis terhadap isi prinsip kebudayaan yang ideal (ideal culture) memperlihatkan perbedaan yang mendasar dalam melihat konsep kesehatan mental.
           Jawa mengartikan keselarasan sebagai sesuatu yang harus dibatinkan, dimana konflik-konflik yang timbul diredam dan dialihkan, bahkan disublimasi kedalam bentuk lain, antara lain dengan laku batin atau kebatinan. Melalui kebatinan ini manusia Jawa berusaha mencapai manuggaling kawulo-gusti; suatu keadaan yang sempurna. Kondisi demikian mencerminkan keadaan yang fit dari psikis seseorang yaitu kondisi mental yang sangat sehat.
           Sementara etnik Minangkabau tidaklah memandang konflik sebagai hal yang harus dipendam, sebaliknya malah dibiarkan terbuka dan harus dicari penyelesaian dengan mufakat terbuka. Ketegangan diperbolehkan, untuk mendorong kompetisi asal masih dalam prinsip alua jo patuik dan raso jo pareso. Pemecahan konflik tidak harus dibatinkan, tapi harus dicari dalam dialog yang intens. Disamping hal tersebut ukuran yang dipakai untuk menentukan sehat mental seseorang adalah: kepintaran menyesuaikan diri terutama untuk survive dalam kehidupan keras dirantau, kemampuan menyembunyikan aib (terutama aib pribadi dan keluarga), kemashuran, ketenaran, kemegahan (ego pribadi dan meyangkut harga diri), serta kemampuan menyumbang secara nyata bagi masyarakatnya. Karenanya seorang individu terus didorong untuk terus berkompetisi dan mencari prestasi setinggi-tingginya.

           Dalam masyarakat Barat, konsep kesehatan mental merujuk pada a sense of psychological well being, misalnya Abraham Maslow (Marsella, 1982) mengembangkan kriteria untuk konsep kesehatan mental optimum. Kriteria ini meliputi sejumlah kualitas psikologis dan perilaku seperti otonomi, nilai-nilai demokratis, spontanitas, minat sosial, dan sebagainya.  Konsep kesehatan mental barat lebih cenderung melihat segala sesuatu secara ilmiah dan analitik. Ada pemisahan yang tegas antara mind and body. Karenanya permasalahan yang ada ditangani oleh institusi terpisah untuk peranan, fasilitas, dan pengetahuan pada masing-masing tingkat somatik, psikologis, dan spiritual dari fungsi manusia.
           Misalnya, gejala yang sering didiagnosis sebagai depresi di Barat dapat ditafsirkan sebagai neurasthenia (gugup kelelahan) di Cina. Selain itu, kondisi yang ditentukan dalam satu budaya mungkin tidak terdefinisi di negara lain. Amerika, perawatan medical cenderung dipicu ketika orang merasa ada gejala yang mengganggu hubungan pribadi. Sebaliknya, Irlandia dan Anglo-Amerika cenderung mencari bantuan bila mendapat gejala yang dianggap mengganggu pekerjaan atau fungsi fisik (George D. Bishop.2002).

           Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara umum konsep barat dan timur mempunyai perbedaan dalam memandang kesehatan mental. Konsep Timur lebih mementingkan keselarasan, tidak memisahkan mind and body, tidak fragmentaris dan tidak analitis, namun kelemahannya sukar ditarik operasionalisasi dan kejelasan konsepnya, sehingga tidak memudahkan bagi usaha-usaha prikoterapis seperti yang dikenal pada dunia Ilmiah (barat). Namun dari dua etnik (Jawa dan Minang) yang notabene terdapat pada dunia timur (Indonesia), terdapat perbedaan konsepsi mengenai kesehatan mental, terutama dari modus (cara/tuntutan perilaku) untuk mencapai keselarasan. Keselarasan yang bagi masyarakat Jawa dicari lewat cara metafisik pada kekuatan supernatural yaitu supaya tercapai kondisi Manunggaling kawulo-gusti, tidak dijumpai pada etnik Minangkabau. Bagi etnik Minangkabau, keselarasan dalam diri pribadi ditentukan oleh pribadi itu sendiri dengan manajemen kekuatan-kekuatan; pikiran, rasa dan keyakinan (Nasroen, 1954).

Sumber:

http://udoctor.co.id/udoctor3/includes/broadcast/09.2014.0001_Konsep_Sehat.pdf
https://psychosystem.wordpress.com/2011/02/09/hello-world/
Yusuf, Syamsu. ”Mental Hygiene Perkembangan Kesehatan Mental dalam kajian Psikologi dan agama”. Pustaka Bani Quraisy bandung. Bandung. 2004